Dewas barista with inspiratif story. Photo: Pourmorecoffee.

Dewas: Menjadi Barista, Mengatasi Trauma

Dewas mengguncang lembut gelas bening di tangannya dengan gerakan agak memutar. Kopi yang baru diseduhnya itu mengayun merambati dinding gelas seolah hendak melompat keluar bejana kaca berbentuk agak cembung itu. Sejurus kemudian ia menyeruput dengan suara hirupan nyaring.

“Bodynya pulen, aromanya enak banget, tapi flavornya terlalu funky atau pahang seperti over fermented, bikin perut berasa kurang nyaman,” ujarnya mendeskripsikan kesan yang dia dapat.

Kami mengobrol ringan di sudut ruangan kedai kopi yang siang itu sedang lumayan ramai pengunjung.

Dewas adalah barista yang bekerja di Ubud Coffee Roastry, kedai kopi di pusat Ubud. Itu panggilan singkat untuk nama lengkapnya; Bagus Satria Wibawa. Pemuda bermata sendu kelahiran Madiun, tepat di ujung Januari 1991.

Mengenakan kaos hitam bergambar dekoratif group band Pink Flyod, topi pet hitam di kepala, Dewas tampil casual bak pelukis muda. Siang itu dia sedang mengulik roasted beans hasil sangraian rekan sejawat. Biji kopi proses natural yang baru mereka peroleh dari coffee processor rekanan. Sebelum dijual ke pelanggan, petugas roasting dan barista mesti melakukan kalibrasi untuk memastikan cita rasa terbaik biji kopi bisa dimunculkan.

Dewas menyadari salah satu perannya sebagai barista adalah memberikan feedback kepada petugas roasting agar cita rasa kopi bisa terjaga konsisten sesuai harapan para pelanggan.

Sungguh tak pernah terbayangkan bagaimana ia bisa terjun begitu dalam di dunia kopi.

Semua berawal dari peristiwa traumatis pada 2016 yang menggurat kesedihan mendalam. Ayahanda meninggal terkena serangan jantung saat sedang meminum kopi sachet di sebuah warung kelontong tetangga rumah.

“Saya bereskan barang-barang, seperti tas, rokok, dan sisa kopi dalam gelas yang diminum bapak saya di warung itu,” kenangnya dengan raut wajah penuh duka.

Saat persiapan upacara pemakaman, sudah tradisi di Bali, menghidangkan kopi bagi para pelayat. Dewas tak berani melihat, apalagi mendekati, gelas-gelas kopi yang terhidang. Ia jadi sangat membenci kopi.

Lepas kuliah di Atma Jaya Yogyakarta 2009 jurusan Akuntansi, sebenarnya Dewas sudah menikmati bekerja di kapal pesiar sebagai Bar Waiter. Namun, karena kedua kakaknya sudah berkarier di Jakarta dan Medan, sepeninggal bapaknya, ia memilih tak melanjutkan bekerja di luar Bali. Ia memilih menemani ibunda yang tinggal sendiri di rumah.

Kebetulan seorang teman yang punya resort di Ubud menawari kerja sebagai Guest Relations. Di sana ia sering melihat barista menyiapkan kopi untuk para tamu di restorant yang tak jauh dari ruang loby tempatnya menyambut tamu.

Waktu berjalan pelan. Mulai timbul rasa penasaran kenapa kopi bisa menyebabkan ayahnya meninggal. Ia mulai giat mencari tahu.

Ia bertekad mencari tahu soal kopi langsung dari sumbernya, meski dia belum tahu mesti bertanya kepada siapa.

Hingga pada suatu pagi, bersama seorang teman, ia memutuskan meluncur ke daerah Kintamani, Bangli, yang saat itu memang sudah dikenal sebagai penghasil kopi. Meski langit kala itu tak begitu cerah, mendung kelabu memayungi wilayah Ubud, Dewas tetap memacu sepeda motornya.

Kurang lebih satu jam perjalanan, mereka memasuki kawasan Kintamani. Saat melewati gerbang gapura bertuliskan “Selamat Datang di Desa Wisata Kebun Kopi Mengani”, mereka meyakini sudah di arah yang benar. Namun mendung di langit kian menebal dan gerimis hujan mulai turun. Mereka memutuskan mencari tempat berteduh.

Di depan tampak sebuah bangunan besar menarik perhatian mereka, barangkali bisa berteduh di sana. Tak disangka, dari arah itu seorang bapak berseru-seru mengundang mereka untuk singgah karena melihat mereka kehujanan.

Namanya pak Hendarto. Rupanya dia seorang pengusaha kopi. Sebuah kebetulan yang menggembirakan Dewas, karena bertemu orang yang tepat untuk mencari tahu banyak hal tentang kopi. Pak Hendarto Setyabudi sangat ramah dan senang berbagi cerita seputar dunia kopi.

Udara dingin dataran tinggi Desa Mengani ditabuhi gemericik air hujan terasa begitu damai. Obrolan mereka terjeda sejenak saat istri pak Hendarto menyuguhkan minuman hangat beraroma semerbak melati.

“Silahkan diminum,” istri pak Hendarto mempersilahkan.

Dewas membayangkan teh melati hangat sangat nikmat diseruput saat suasana hujan begini. Baru saja menyeruput sembari menikmati harum melati, Dewas terhenyak, lidahnya mengecap manis yang lembut dan cita rasa serupa mawar. Ia pun spontan bertanya teh apa yang sedang disajikan tuan rumah.

“Itu kopi. Bukan teh,” jawab pak Hendarto terbahak.

Dewas terperanjat. Sontak ia menjauhkan cangkir yang baru dia seruput itu. Ia sungguh tak berniat minum kopi lagi sejak peristiwa kematian ayahnya. Ia hanya ingin tahu tentang kopi. Bukan meminumnya.

“Saya tak berani minum kopi Pak!” ucapnya terbata. Dewas menceritakan peristiwa traumatis yang menimpa mediang ayahnya.

“Kopi sachet itu bukan asli kopi, tapi lebih banyak esense atau perasa kopi, dan gula,” terang pak Hendarto. Sedang yang baru saja disajikan adalah kopi asli dari kebun di Mengani.

Perlahan pak Hendarto menjelaskan perbedaan kopi asli dan kopi sachet. Bagaimana kopi sachet bisa menyeragamkan rasa dan punya kandungan zat adiktif.  Tak heran mendiang bapaknya dulu punya kebiasaan meminum kopi sampai 8 gelas sehari.

Dewas tak bisa lagi menahan air mata. Ia merasa menyesal karena tak punya kesempatan lagi memperkenalkan kopi yang otentik dan nikmat ini kepada ayahnya.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Mereka pamit pulang saat jam menunjukkan pukul 11 malam. Sudah sejak pukul 10 pagi mereka di sana.

Sebelum pulang, pak Hendarto menyarankan Dewas untuk mencari tahu tentang kopi ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) di Jember, Jawa Timur. Ia juga menyarankan untuk menemui kenalannya, pak Nabiel, pemilik Kedai Ubud Coffee Culture di Ubud.

Di Puslitkoka Dewas berkesempatan belajar pada salah seorang peneliti. Dengan murah hati menjelaskan tentang aneka zat yang terkandung dalam kopi. Juga gambaran besar tentang bisnis kopi. Ini membantunya untuk punya cara pandang lebih kritis tentang industri kopi.

Begitu halnya dengan Pak Nabiel, rupanya sosok yang kemudian memberi andil sangat besar pada perkembangan pengetahuan dan skillsnya di bidang kopi. Pak Nabiel lah yang kemudian menjadi mentor dari 2017 hingga ia pindah ke Yogyakarta 2019.

“Pak Nabiel orangnya baik sekali, sudah seperti keluarga buat saya. Dia sangat terbuka pada orang seperti saya yang ingin belajar tentang kopi,” ujar Dewas.

“Saya digembleng melatih kepekaan sensori, sampai bosan,” ujarnya mengenang sambil tergelak.

Di bawah mentoring pak Nabiel, Dewas belajar secara bertahap mengenali teknik dan metode penyeduhan kopi dan bagaimana mengasah kepekaan sensori indera penciuman dan perasanya. Tapi lebih dari itu, ia punya tempat bertanya untuk memahami rantai proses kopi dari hulu ke hilir dengan lebih utuh. Memang tidak mudah menjadi barista yang komplit.

Demi memenuhi hasratnya yang tinggi untuk belajar tentang kopi, bersama Gusti Ngurah Agus, teman yang biasa dipanggil “Meng”, mereka menginisiasi sebuah komunitas sharing antarpegiat kopi bernama “Ubud Coffee Weekend”. Komunitas ini rutin berkumpul sebulan sekali, berbagi pengetahuan dan belajar bareng tentang kopi.

“Kita sempat diliput televisi nasional. Itu yang bikin kita dikenal bukan saja di Ubud tapi di seluruh Bali,” kenangnya.

Dewas dan para pegiat kopi saat itu mendambakan sebuah wadah bagi para pelaku dalam bisnis kopi untuk mengembangkan diri dan sharing wawasan terutama dalam pemahaman tentang kopi. Juga ingin menampilkan Ubud tak hanya sebagai salah satu pusat budaya tapi juga tempat ngopi yang seru.

“Saya sering ketemu barista yang ketika ditanya kopi yang dia sedang sajikan asalnya dari mana, dijawabnya dari supplier,” ujarnya menggeleng-gelengkan kepala.

Jika saja mayoritas pelaku industri kopi di Ubud, dari barista, roaster, hingga pemilik usaha punya pemahaman yang seiring tentang Kopi Bali, Ubud akan semakin dikenal sebagai tempat ngopi berkualitas.

Sayangnya, semenjak pandemi covid 19, kegiatan komunitas terhenti hingga saat ini.

Siang itu matahari tampak terik di luar sana. Pantulan silaunya memendar menembus jendela kaca. Suasana ruang kedai kopi ini makin ramai. Sepertinya banyak pengunjung yang mau ngopi sembari rehat sejenak dari sengatan matahari.

Dewas sangat menikmati keseharian di tempat kerjanya sekarang. Dia menyukai konsep coffee shop yang memang fokus pada menu kopi yang menjaga kualitas. Di Ubud Coffee Roastery ia merasa bisa sepenuh hati menggeluti apa pun tentang kopi.

Punya idealisme memang tak mudah. Seringkali mesti bertarung dengan realitas hidup yang sangat dinamis. Dewas menyadari itu. Karena ia merasakan kerasnya tarik-menarik antara keduanya.

Barista yang pernah membuka kedai kopi bernama “Mokapot” ini, tak mau mengulangi kesalahan; tidak punya konsep yang cukup kuat untuk kedai kopinya. Sehingga seringkali tergoda untuk mengikuti kemauan pasar yang sering berubah. Kedai kopinya seperti terombang-ambing, sulit mempertahankan branding yang tegas, hingga akhirnya tak kuat bertahan. Bubar.

Obrolan asyik siang itu terkadang mesti bersaing dengan volume deru suara mesin grinder di meja barista, yang sedang meremukkan biji-biji kopi menjadi bubuk. Karena lebih mudah mengekstraksi kenikmatan kopi dari biji-biji kopi yang sudah hancur daripada yang masih utuh.

Pasang-surut hidup yang dijalani menjadi modal penting Dewas mengejar impian. Salah satunya membuat wadah untuk mengikuti passionnya demi bisa lebih mendalami dunia kopi. Terutama aneka kopi di nusantara yang memang layak memperoleh apresiasi. Meski ia sadar betul betapa hidup dengan idealisme memang tidak mudah.

Bagi Dewas, hidup yang terlalu datar tak ubahnya kopi bercita rasa menjemukan. Sesekali perlu diguncang, memutar, merambati dinding batas teratas. Hingga aroma dan flavor terbangun dari tidurnya di alam bawah sadar.

Follow Dewas di Instagram @dewabagussw

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses