Cuaca panas sekali sepanjang siang ini. Dicky Barista menutup pintu kaca kedai kopinya dan menyalakan penyejuk udara. Ketika menjelang sore begini kedai kopi ini sering lengang. Pengunjung lebih banyak yang memesan untuk dibawa pergi daripada diminum di tempat.
Hawa ruangan mulai terasa sejuk, dilatari alunan musik Led Zeppelin, Dicky menyeduh kopi Arabica Java Ijen menggunakan V60.
“Saya lebih suka menyeduh kopi menggunakan metode manual brew daripada pakai mesin,” ujarnya.
Kenapa begitu? Karena ia merasa lebih bisa mengeksplorasi cita rasa kopi menggunakan metode pour over. Dengan mengubah grind size, suhu air, rasio gramasi, sudah bisa mendapatkan cita rasa yang berbeda. Dengan mesin tidak punya keleluasaan semudah itu.
Meski mungil, kedai kopi di daerah Panestanan, Ubud, ini adalah tempat kerja yang menyenangkan buat Dicky. Sebenarnya ada satu lagi kedai kopi di pusat keramaian Ubud, lebih besar, dan fancy. Kedai kopi di Panestanan ini adalah cabangnya. Tapi Dicky memilih menghandle Ubud Coffee Roastery Panestanan ini.
“Di sini saya bisa membuat playlist musik sendiri, dan lebih bisa banyak berinteraksi dengan pengunjung,” ujarnya.
Sementara di tempat yang satunya lagi, tak bisa sefleksibel itu. Berinteraksi dengan pelanggan memberi warna yang lebih semarak pada profesinya sebagai barista. Dicky tertantang untuk selalu bisa menyesuaikan diri dengan karakter orang yang berbeda-beda. Tapi itulah Dicky, barista yang gemar bereksplorasi. Tak hanya pada biji-biji kopi, tapi juga pada diri sendiri.

Dicky Gunawan nama lengkapnya. Pemuda kelahiran 26 November di Bandung (tahun rahasia), Jawa Barat ini mengaku tak terlalu mudah bergaul. Ia sering merasa canggung kalau mesti memulai terlebih dulu berkenalan dengan orang yang baru ditemuinya.
Namun, rupanya menjadi barista kopi membantunya untuk mengatasi kecanggungannya. Sepertinya karena orang-orang baru itu yang mendatanginya ke meja bar, bukan sebaliknya.
Menjadi barista bukan pilihan profesi yang pernah terlintas di benak Dicky. Ia bahkan baru menyukai kopi kira-kira 2014. Sebelumnya, sama sekali tak punya ketertarikan pada kopi, apalagi meminumnya.
Berawal dari saudara sepupu, yang baru datang dari Amerika, membawa oleh-oleh aneka macam biji kopi. Salah satunya kopi Colombia. Si kakak sepupu menyeduh kopi menggunakan alat manual brew di rumahnya. Lalu membujuk Dicky untuk mencoba menyeruputnya, karena ia tahu Dicky tidak suka kopi.
“Kalau saya ingat-ingat, rasanya sweet banget, chocolaty, ada brown sugar, dan terasa sensasi seperti mint yang menyebar di lidah,” tuturnya mengenang moment dirinya merasa mengalami pencerahan. Sejak itu, Dicky tak pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk mengenal kopi lebih jauh lagi.

Ia mulai banyak bergaul dengan komunitas kopi yang memang bisa banyak ditemui di Bandung. Bahkan, temannya sendiri ada yang sudah menjalankan usaha kedai kopi.
Dua kedai kopi yang sering dikunjunginya untuk belajar adalah 5758 Coffeelab dan Custom Coffee Garage. Di dua kedai kopi itu ada beberapa temannya yang bekerja sebagai barista.
“Di Custom Coffee Garage milik Mang Pit, tempat saya banyak belajar tentang kopi,” ceritanya mengingat Mang Pit, teman yang mengajarinya tentang kopi.
Dicky suka sekali mencoba aneka macam biji kopi dari berbagai daerah di nusantara. Ia mencoba mengenali karakter rasanya secara mendalam. Ia kerap berkeliling kedai-kedai kopi yang ada di Kota Bandung.
Suatu hari seorang tetangga mengajak teman berkunjung ke rumah Dicky. Kebetulan melihat Dicky sedang menyeduh kopi. Ia lantas menawari Dicky bekerja di Bali.
Ada coffee shop di Bali yang pemiliknya meninggal karena kecelakaan. Keluarga yang ditinggalkan tak ingin kenangan tentang dia ikut menghilang. Maka mereka mempertahankan setidaknya untuk setahun ke depan. Butuh orang yang bisa jadi pengelola.
Singkat cerita Dicky menyanggupi. Januari 2019 ia tiba di Bali dan langsung dikenalkan dengan mas Ainun Nabiel, kawan mendiang pemilik kedai kopi, yang akan memandunya di permulaan. Mas Nabiel adalah pemilik Ubud Coffee Culture, sebuah kedai kopi di kawasan Tebesaya, Ubud, tempat berkumpulnya para pecinta kopi.
Juria House nama kedai kopi yang mesti mulai dihandle Dicky. Mendiang pemilik kedai kopi ini punya misi memperkenalkan kembali Kopi Juria. Ini varietas kopi Arabica Typica, yang sangat unik, dari Flores, Nusa Tenggara Timur. Varietas kopi ini sempat hampir lenyap. Karena tidak bisa berbuah banyak dan hanya dua tahun sekali periode panennya.
Mas Nabiel menunjukkan kedai kopi Juria House yang memang sudah dilengkapi dengan banyak jenis peralatan manual brew. Menurut mas Nabiel, Juria House ini berkonsep slow bar. Kopi disajikan tidak untuk mereka yang suka buru-buru. Tapi menikmati kopi dengan santai.
“Anggap ini play groundmu. Belajar dan eksplorasi sesukamu. Yang penting dijaga dengan baik,” ujar mas Nabiel memberi semangat pada Dicky.
Entah bagaimana, alam semesta seperti membuat jalur khusus untuk Dicky mendalami kopi sesuai minatnya.

Di Juari House Dicky tak henti mengulik kopi dengan penuh semangat. Bermain-main dengan rasio gramasi dan air, temperature, grind size, blooming time pada metode pour over. Juga penggunaan equipment manual brew yang lain semua dia coba dan kuasai.
Sebagai orang yang baru pindah ke Bali, ia belum punya tempat tinggal. Dicky minta ijin untuk bisa numpang di Ubud Coffee Culture. Mas Nabiel mengijinkan.
“Saya tidur di ruang roasting,” ujarnya, menceritakan pilihannya untuk bisa menghemat budget.
Sepulang kerja di Juari House, Dicky punya banyak kesempatan menimba ilmu dari mas Nabiel yang sangat bermurah hati menjadi tempat bertanya.
Sekian lama mendalami kopi, Dicky merasa semakin banyak yang belum ia pahami. Semakin jauh ia menyelami, semakin ia menyadari kopi begitu kompleks.
“Kopi itu sangat kompleks, seperti manusia,” ujarnya terbahak.
Ia mengaku, kadang cukup kesulitan mendeskripsikan kopi karena tak cukup punya kata yang ia rasa bisa menggambarkan kesan yang dia dapat.

Di Juari House, Dicky merasakan pentingnya berinteraksi dengan para pelanggan. Ia menjadi terlatih untuk tak hanya bercerita tentang kopi yang diseduhnya, tapi juga bagaimana menjadi teman yang hangat.
Kedekatan bisa menjadi cukup personal, seringkali membantunya memperoleh tambahan semangat hidup. Demikian juga ia berharap pelanggannya memperoleh dampak yang serupa.
Suatu ketika datang sepasang pengunjung dari Spanyol. Sepertinya pensiunan yang sedang menikmati liburannya di Ubud. Sang istri memesan kopi tapi untuk dirinya sendiri. Ia bilang suaminya tidak suka kopi.
Dicky mencoba menggoda untuk mencicipi kopi yang ia seduhkan. Rupanya bujukannya berhasil. Sang suami mencicipi kopi v60 yang diseduhnya. Kopi tandas, dan mereka pamit pulang, sambil berucap terima kasih atas kopinya yang oke.
Namun, keesokan harinya, mereka datang lagi. Sebuah kejutan manis; sang suami langsung menghampirinya dan memesan kopi seperti kemarin dia minum.
“You must be proud of your self. You can make me, who never likes coffee and now become a coffee lover,” Dicky mengutip ucapan pelanggan barunya itu.
Semacam hembusan energy baru yang memompa darah segar ke sekujur tubuhnya, dan semburan hormon oxytocin menumbuhkan sayap di kedua bahunya, dan Dicky pun terbang melayang.
Juari House hanya buka setahun, sesuai rencana keluarga pemilik, Januari 2019 kedai itu ditutup. Setelah itu Dicky kembali ke Bandung untuk melepas rindu dengan keluarga. Namun, hampir bersamaan, saat itu pademi covid 19 baru saja mengguncang seluruh dunia. Ia tak bisa kembali ke Bali.
Ia mesti menunggu dua tahun, hingga covid 19 mereda. 2022 ia bisa kembali ke Bali.
Ia dipercaya menghandle outlet cabang baru Ubud Coffee Roastery di Panestanan.
Playlist lagu di kedai kopi mungil ini tak jauh dari pop rock dan classic rock. Genre lagu kesukaan Dicky. Setelah Led Zeppelin dan Queen, kali ini Dire Straits mengalun riang.
“Hi! How are you?” seorang pelanggan datang menyapa.
Ketika waktu sudah menjelang jam tutup kedai, biasanya memang banyak yang datang. Mungkin karena udara tak sepanas siang hari yang terik.
“Is it oke for take away?” Dicky menawarkan kopi menggunakan gelas take away. Karena sebagian besar perlengkapan sudah dicuci untuk persiapan esok hari. Si tamu mengiyakan.
Paling repot memang saat pagi menyiapkan buka kedai kopi. Dicky mesti memeriksa semua perlengkapan, melakukan kalibrasi alat, dan tentu saja menyiapkan playlist lagu yang mengiringinya sepanjang hari.
Saat menutup kedai kopi di sore hari juga cukup menyita waktu. Dicky mesti menyuci dan membersihkan seluruh peralatan. Membersihkan area kedai dan juga melipat meja dan kursi. Tapi Dicky Barista melakukannya dengan penuh kegembiraan.

“Belum ada rencana ke depan mau gimana. Mengalir saja,” ujarnya.
Baginya hidup tak mesti terlalu rigid dengan perencanaan yang ketat. Asal mengerjakan apa yang dia sukai dengan sepenuh hati dan gembira, alam semesta akan membuka jalannya.
Yang pasti ia akan terus melanjutkan eksplorasinya, karena kopi yang kompleks selalu memberinya tantangan untuk menemukan sesuatu yang baru.
Follow Dicky Barista di Instagram @the_adic