Pandangan Arya Giri terpaku pada mesin roasting mungil di atas meja yang sedang bekerja. Gemericik suara biji-biji kopi berlarian bak tupai menggulung roda jogging mainan tak luput dari kewaspadaan pendengarannya.
“Ini lagi meroasting sample green beans yang baru pertama kali kita olah,” ujarnya.
Di sini ruang kerja Arya Giri, pengolah kopi di Munduk Coffee, tak jauh dari Danau Tamblingan, Bangli.
Sebuah mesin roasting besar berwarna hitam gagah mengisi sudut ruangan. Mesin merk Froco itu berkapasitas 18 kg. Mesin besar itu sedang tidak beroperasi.
Di sebelahnya satu ruangan office mungil, sepertinya tempat petugas administrasi melakukan pencatatan.

Bar tempat mesin grinder dan beberapa peralatan kopi menghadap ke meja persegi besar dikelilingi kursi-kursi mungil. Di sanalah Arya Giri menyangrai sample green beans barunya dengan mesin roasting pinjaman dari Candikuning Coffee Farm, kebun kopi rekanan yang berada di atas Danau Baratan.
Sebuah rak besar bertingkat dua dipenuhi karung-karung green beans di bagian bawah, dan container berisi roasted beans di bagian atas.
Di seberangnya ambalan kayu menempel manis dijajari aneka peralatan seduh sebagai dekorasi bersama poster-poster tentang kopi. Saat memasuki ruangan ini, serasa dipeluk dengan kehangatan dan semerbak wangi Arabica.
Arya Giri mencabut sampling spoon dari mesin roasting yang masih bekerja. Mengamati warnanya dan mencium fragrance biji-biji kopi yang mulai berwarna gelap. Seketika memasukkan lagi ke dalam roasting drum diikuti jemarinya memainkan panel-panel pada mesin.
“Serunya sampling roasting itu untuk mengetahui bagaimana hasil olah green beans kita, apakah setara dengan kerumitan saat pengolahan, atau justru profil kopinya jauh dari ekspektasi,” ujarnya sambil tetap awas pada kerja mesin roastingnya.
Menurutnya, kegagalan pengolahan green beans tahun ini, hanya bisa diulang di tahun yang akan datang. Karena panen kopi yang hanya sekali setahun. Itulah tantangan yang dianggapnya sebagai keseruan.
Munduk Coffee ini tidak hanya mengolah kopi dari hasil panen kebunnya, tapi juga mengumpulkan hasil panen dari 100 an petani kopi di Asah Gobleg, Munduk, dan desa-desa sekitarnya. Karena dua hektar lahan kebunnya tak semua ditanami kopi, tapi juga disisipi beberapa bangunan resort yang teduh.
Mengolah kopi hasil panen dari beragam petani punya tantangan tersendiri. Karena masing-masing petani punya kondisi dan situasi kebun yang berbeda-beda.
“Kita tak bisa egois hanya menuntut hasil panen kopi dengan kualitas sempurna,” ujarnya, sembari menuntaskan proses sangraian sample kopinya dan mulai proses pendinginan.
Ada kalanya petani tak bisa memanen hasil kopi seragam hanya memilih ceri merah matang, karena kondisi kebun yang terjal dan licin. Memanen kopi cukup berisiko. Memanen beberapa kali tentu berimplikasi pada biaya ongkos panen yang juga tinggi.
Kadang ada petani yang hanya bisa mempekerjakan tenaga petik kopi yang sudah nenek-nenek. Hasil panennya tidak seragam. Kita mesti maklumi,” tuturnya.
Arya Giri perlu membuat perlakuan khusus pada ceri-ceri kopi yang dipanen tidak seragam. Misalnya dengan melakukan sortir yang lebih akurat, agar tetap bisa menghasilkan olahan kopi yang baik.
Di titik ini lah, Arya Giri memilih meredam egonya, dan memihak pada para petani yang memang kerap kali tak berada dalam situasi ideal.
Serta-merta dari arah meja bar meluncur seduhan kopi Munduk proses classic natural.
“Nah, cobain hasil fermentasi classic natural kita,” ujarnya mempersilahkan.
Cangkir keramik mungil dengan seduhan kopi hangat sudah siap diseruput. Aromanya semerbak manis caramel dan gula tebu.
Saat menyesap dan mengulum kopinya, rasa manis buah delima cukup intense memberi aksen yang kuat pada cita rasa asam jeruk yang nyaman, seperti kebanyakan kopi-kopi Kintamani, Bali.
Body medium dan aftertaste yang lumayan panjang memberi kesan pulen di rongga mulut.

Arya Giri kali ini bergeser ke belakang meja bar, mulai sibuk dengan manual grinder dan alat seduhnya. Ia bersiap mencicip kopi hasil sample roastingnya tadi.
Menurutnya, situasi di kebun kopi yang beragam, banyak yang tak dipahami oleh bagian tengah dan hulu dari rantai pasok industri kopi.
“Roastery atau coffee shop hanya menuntut biji kopi Bali dengan kualitas terbaik, dan tak jarang minta harga termurah. Tapi datang melihat situasi kebun pun tak pernah,” keluhnya dengan nada getir.
Ada jalinan cerita yang putus pada kenikmatan kopi specialty Bali, jika roaster dan barista di kedai-kedai kopi tak memahami situasi kebun kopi di Bali.
Rongga kosong itu akan diisi bualan sekadar membangun cerita palsu yang tentu tak jujur pada konsumen. Atau membisu saat ditanya bagaimana kopi specialty yang disuguhkan itu dihasilkan.

Bermula bekerja sebagai barista sekaligus bartender di Hardrock Café di kawasan Kuta tahun 2012. Kala itu belum banyak kedai kopi yang mengenal kopi specialty.
Ia terhitung sebagai pekerja di bidang kopi yang sudah senior di Bali. Hingga era Pandemic COVID-19 memaksanya kembali ke kampung halaman di Munduk, Bangli.
Situasi pandemic justru bisnis kopi menemukan momentum melejit. Arya Giri pindah bekerja ke Munduk Coffee Roasters yang tak jauh dari rumahnya.
Di tempat kerjanya ini ia mesti mengolah hasil ceri kopi dari sekitar 2 hektar lahan kopi dan 100an petani kopi di Munduk dan sekitarnya.
Tak kurang dari 100 ton ceri kopi yang diolah setiap tahunnya.
Ia adalah pelaku usaha kopi yang cukup langka, karena memiliki tak hanya pengetahuan dari hulu ke hilir. Tapi juga memiliki pengalaman langsung berinteraksi dengan para petani, pengolah kopi, roaster, hingga para peminum kopi.
Sekian lama aktif bekerja di dunia kopi, tak heran jika Arya Giri kerap dipercaya sebagai juri berbagai kompetisi seputar kopi.
Banyak peserta lomba kopi yang tidak mengenali bagaimana kopi yang berkualitas dihasilkan. Mereka hanya tahu ada kopi bagus yang ada di hadapan mereka.
Menurutnya, dengan mengetahui dari mana kopi dihasilkan, bagaimana kopi ditanam dan dirawat para petani dengan kerja keras, maka para barista akan lebih menghargai kopi tak sekadar barang dagangan.

Kopi Bali butuh upaya serius agar bisa semakin baik. Mesti ada riset yang serius terkait varietas unggulan yang paling sesuai dengan situasi lahan kebun yang cukup variatif di Bali. Memang bakal menjadi proses riset yang panjang, tapi setidaknya mesti dimulai dan berkelanjutan.
Para petani kopi yang rutin menyetor hasil panennya ke Munduk Coffee umumnya memiliki luas lahan kurang dari 1 hektar. Bahkan hanya di kisaran 10 are. Ini membuat petani kopi seringkali tak bisa mengandalkan hidup hanya dari hasil panen kopi saja.
“Hanya petani yang sudah punya kemampuan ekonomi baik yang bisa benar-benar mengurus kebun kopinya dengan optimal,” ujarnya.
Maka butuh peran pemerintah untuk membuat tindakan nyata bagi para petani kopi, terutama yang masih belum punya cukup kemampuan dalam berkebun kopi secara baik.
“Pemerintah jangan malah ngurusin yang ga penting-penting, itu pun ga beres juga,” ujarnya sembari tertawa pedih.
Upaya meningkatkan produksi kopi Bali dengan berharap petani memperluas lahan kebunnya, jelas jauh panggang dari api. Harga tanah yang kian meroket ditambah lagi makin banyaknya villa dan bangunan tempat tinggal didirikan di lahan-lahan produktif seperti tanpa bisa dibendung, jelas makin mendesak keberadaan para petani.

Namun Arya Giri tak sudi hanya berdiam diri. Ia mewujudkan keberpihakannya pada petani dengan tetap setia menjaga dan menerima hasil panen kopi mereka, dan mengolahnya sebaik mungkin. Karena ia sadar, sebagai pengolah kopi, perannya dalam rantai pasok industri kopi Bali Specialty bisa sebagai penjaga kualitas di sisi hulu.
Dengan meredam ego yang kerap menuntut situasi ideal, Arya Giri memilih memaksimalkan apa yang ada, demi kemajuan kopi Bali dan para petaninya.
Follow Arya Giri melalui akun sosial media Instagram: @aryagiry