Gus Adi Kopi, a coffee roaster put back the roasted beans to the drum. Photo: Pourmorecoffee.com

Gus Adi si Pembisik Biji Kopi

Suara putaran biji-biji kopi keemasan di tabung sangrai terdengar gemericik halus. Ini adalah green beans yang baru masuk dari feed port ke dalam barrel tabung sangrai. Ida Bagus Gede Adiriawan yang sering dipanggil Gus Adi, coffee roaster Ubud Coffee Roastery sedang asyik bekerja pagi itu.

Gus Adi mengamati putaran proses sangrai yang ke sekian kali pagi itu, karena mesin sangrai Froco yang dioperasikan kapasitas maksimal sekali jalan hanya 5 kg.

Sementara semerbak harum aroma kopi, yang baru saja meluncur dari cooling plate ke ember penampungan, memenuhi ruang roastery. Gus Adi sudah mulai menyangrai biji-biji kopi sejak pukul 7 pagi itu. Entah sudah berapa banyak yang dia kerjakan hingga menjelang siang ini.

Ruangan roasting ini tak begitu besar, namun langit-langitnya cukup tinggi sehingga berkesan lega. Sebuah rak besi menempel di sisi dinding dijajari aneka kemasan kopi produk Ubud Coffee Roastery. Tumpukan container berisi green bean yang siap disangrai memenuhi sudut ruangan.

Gus Adi tampak santai mengawasi mesin roasting yang sedang bekerja. Sesekali ia menarik sample biji kopi dari sampling spoon untuk mengamati perubahan warna dan mengindu aroma biji kopi yang sedang disangrai.

“Dua-tiga tahun belakangan ini kualitas kopi berbeda dengan kopi tahun 2017-2018,” ujarnya menunjukkan keheranan.

Ia menduga ada dua kemungkinan penyebabnya; faktor iklim yang berubah tak sesuai pola atau penanganan pascapanen dari prosesor kopi yang memang tidak lagi menerapkan standar baku.

“Saya hanya berusaha memaksimalkan dari green beans yang ada,” ujarnya.

Ia tak main-main soal green beans kopi. Selalu berupaya memperoleh green beans kualitas yang baik dari sumber yang memang dia percaya.

“Sekarang saya sedang coba lebih banyak mengajak kerja sama petani atau prosesor kopi yang masih anak muda.” ujarnya.

Menurutnya, permintaan yang tinggi pada kopi Bali, terutama Arabica Kintamani membuat tak semua kopi dari daerah ini punya standar kualitas yang sama. Karena terbatasnya supply kopi, kualitas kopi yang tidak cukup baik pun tetap ada yang beli dengan harga tinggi. Ini dikhawatirkan dalam jangka panjang akan menurunkan kualitas kopi Bali.

Kekhawatiran roaster muda yang lahir di Desa Bresela, Gianyar, menjelang malam tahun baru 1990 ini, memang perlu dicermati. 

“Saya suka petani-petani muda yang sedang semangat dan segar idealismenya, asyik diajak diskusi bagaimana caranya agar bisa sama-sama menjaga kualitas kopi Bali. Kita ingin kopi Bali bisa naik ke level lebih tinggi”.

Gus Adi sadar betul potensi luar biasa kopi Bali jika benar-benar dikelola secara tepat oleh semua pihak yang terkait.

“Tugas roaster itu menjembatani antara petani dan konsumen,” ucapnya.

Petani punya hasil panen dengan karakteristik kopi tertentu, tugas roaster adalah memaksimalkan karakter itu agar muncul sepenuhnya saat kopi diseduh barista dan disajikan ke pelanggan.

Tapi ini tentu menuntut ada kesamaan level pengetahuan dari sisi petani, prosesor, maupun roaster. Tanpa kesamaan pemahaman pada produk kopi, tentu akan sulit menyelaraskan upaya yang mesti dilakukan untuk menghasilkan kopi yang baik.

“Barista memang ujung tombak yang mesti bisa mengoptimalkan karakter kopi yang diseduhnya agar benar-benar muncul dan dinikmati pelanggan,” lanjutnya.

Barista lebih berperan menyesuaikan keinginan pelanggan dengan racikan kopi sesuai karakteristiknya. Di sana kemampuan menangkap kemauan pelanggan dan menceritakan kopi seduhannya menjadi hal yang sangat penting.

Rangkaian alur menghasilkan kopi yang punya karakater perlu keselarasan dan komunikasi yang baik antara petani, pengolah kopi pasca panen, roaster, dan barista. Hanya rangkaian yang utuh tersambung dalam tingkat pemahaman yang setara, maka produk kopi akan punya kualitas dan standar yang baik.

Gus Adi kembali menarik sample spoon dari barrel. Lalu menyorongkan biji kopi, yang mulai tampak lebih gelap, ke bawah sorotan lampu. Ia ingin lebih jelas memeriksa tingkat kematangan hasil sangraiannya. Ia memasukkan kembali sample spoon ke barrel. Jemarinya sigap mengatur tombol dan knob yang ada pada control panel.

“Dulu saya hanya diajari cara menyalakan dan mematikan mesin roasting,” kenangnya menceritakan awal mula mempelajari profesi roaster.

Setelah kira-kira 6 bulan bekerja sebagai petugas penyaji minuman, ia dipercaya untuk bertanggung jawab pada outlet kopi yang baru saja dibuka di Jl. Gautama, salah satu sentra wisatawan di pusat Ubud.

Kemudian ia dipercaya menjadi asisten roaster yang lantas menjadi mentornya dalam mengenali kopi lebih dalam. Ia tak bisa melupakan pak Rosyad, seorang fotografer, programmer computer, sekaligus orang yang juga sangat mendalami kopi. Dari pak Rosyad bukan secara langsung ia belajar melulu perihal detail kopi, tapi tentang bagaimana cara belajar yang benar dan efektif.

“Saya pernah tidak disapa seharian, karena tak mau ikut ke kebun kopi pas hari libur kerja,” tuturnya mengingat bagaimana sang mentor yang sempat dibuatnya kecewa, karena Gus Adi seperti menyepelekan salah satu rangkaian proses produksi kopi.

Sejak itu Gus Adi mulai menyadari bagaimana pak Rosyad menunjukkan kalau mau belajar kopi alangkah baiknya memahami rangkaian prosesnya dari hulu ke hilir, tak sekadar di depan mesin roasting.

Komunitas pegiat kopi juga menjadi salah satu ruang belajar buat Gus Adi. Ia banyak belajar tentang kopi dari mereka yang memang sudah lebih senior di bidang ini.

Pak Ainun Nabiel, yang sempat membuka kedai kopi Ubud Coffee Culture di daerah Tebesaya, Ubud, adalah sosok pegiat kopi yang sering berbagi ilmu dan wawasan soal kopi.

“Pak Nabiel menyadarkan saya bahwa belajar tentang kopi seperti tak pernah ada habisnya,” ujarnya.

Kalau sekadar mengubah kopi dari green beans menjadi roasted beans itu sudah ada mesinnya. Kita ikutin langkah-langkahnya pasti bisa. Tapi, ternyata kopi tak sesederhana itu.

“Belajar kopi itu sangat kompleks, dari saat pembibitan, penanaman, bagaimana unsur hara di tanah perkebunannya, curah hujan, pola panen, cara pengolahan pascapanen, hingga ujungnya saat penyeduhan kopi. Saya banyak belajar dari Pak Nabiel soal itu semua,” tuturnya.

Berani terus mencoba dan belajar dari kesalahan adalah cara yang terus Gus Adi praktikkan. Semakin kita memahami alur kopi secara utuh, semakin kita bisa mengerti bagaimana cara meroasting kopi untuk hasil yang maksimal.

“Saya kadang ngobrol dengan biji-biji kopi itu, seolah mereka bicara ke saya, memberitahu saya apa yang mesti dilakukan pada biji kopi ini untuk menghasilkan roastingan yang maksimal,” ujarnya terkekeh.

Tak heran jika hasil roastingan Gus Adi adalah salah satu yang menjadi pilihan para pecinta kopi di Ubud, Bali. Kemampuannya “berkomunikasi” dengan biji-biji kopi ini, meski ini tak ubahnya sebuah bentuk obrolan imaginer, tapi konsistensi hasil roastingan membuktikan ia meroasting menggunakan intuisi. Kelihaian yang terbentuk karena jam terbang yang tinggi dan pengetahuan yang sudah terinternalisasi.

Gus Adi tak ubahnya pembisik biji kopi (coffee beans whisperer) karena kemampuannya memahami karakter biji kopi dan kepiawaiannya menjaga dan memunculkan pada hasil roastingannya. Karena dia selalu mendengar bisikan biji kopi yang disangrainya.

Follow Gus Adi Kopi di Instagram @gus_adi_ucr76

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses