“Kopinya ngambil dari kebun di luar Desa ini, tapi disebut Kopi Pelaga. Kenapa harus begitu?” ujar I Gede Setia Nugraha, petani kopi Desa Pelaga, dengan nada prihatin.
Sore itu, tanpa sengaja kami melihat ada kedai kopi mungil di sisi kiri jalan saat kami dalam perjalanan pulang dari Kintamani ke Ubud. Kedai Pengopi namanya, tak jauh dari Jembatan Tukad Bakung yang baru saja kami lewati.
Hawa sejuk yang menerpa sepanjang jalan Desa Pelaga seperti mengantar kami singgah sejenak untuk menikmati kehangatan Kopi Pelaga.
Kedai kopi mungil ini terlihat sederhana. Beberapa pohon kopi dalam pot ditanam berderet di depan teras kedai. Sebuah bangku panjang membujur di teras, sepertinya untuk mereka yang ingin menyeruput kopi sembari menikmati suasana sekitar.
Bar kecil berjejal peralatan kopi dan dekorasi mengisi sudut ruangan yang tak terlalu besar. Sisa ruangan yang cukup lega diisi bangku panjang dan meja besar untuk pelanggan bisa mengopi santai.
I Gede Setia Nugraha, biasa dipanggil Bli De Nu, menyambut kami dengan antusias seperti berjumpa dengan teman lama. Ia baru saja kembali dari kebun kopi yang berada tak jauh dari belakang kedainya.
Ia sigap beringsut ke belakang meja bar dan mulai menjelaskan berberapa pilihan roasted beans yang tersedia. Kami ikut saja apa yang dipilihkan Bli De Nu. Kami sudah punya ekspektasi karakter kopinya, sepertinya akan serupa dengan Kopi Kintamani yang juga kami suka.
“Cobain Kopi Pelaga full-washed ya,” ujarnya menawarkan.
Kami mengiyakan. Gemericik roasted beans dituang, ditimbang, dan selanjutnya suara gemeletuk hand grinder menggilas renyah dengan putaran lincah petani sekaligus barista ini.
Meski ada mesin grinder, tapi Bli De Nu mengaku lebih menyukai menggunakan alat penggiling manual. Biar lebih berkesan klasik, katanya.
Pelaga adalah desa yang berada di Kabupaten Badung, berbatas langsung dengan Kintamani yang berada di sisi timur laut, wilayah yang lebih tinggi. Kintamani adalah daerah penghasil kopi Arabica yang sangat popular, apalagi sejak mendapat sertifikasi indikasi geografis dari pemerintah.
“Ayo cobain Kopi Pelaga full-washed dari kebun saya,” ujarnya sembari menyodorkan gelas sloki dan menuangkan hasil seduhan V60nya.
Aroma jasmine dan brown sugar bersahutan menyeruak, menggoda untuk segera menyeruput, berharap rasa segar asam jeruk khas Kopi Kintamani menyapa rongga mulut. Tapi justru kopi ini tak terlalu asam, cenderung lembut namun segar, sangat nyaman di lidah. Rasa manisnya seperti meloncat dilatari kelembutan buah leci yang segar.
Ini jelas berbeda dengan Kopi Kintamani. Bli De Nu tersenyum melihat ekspresi kami yang agak kaget.
“Beginilah sesungguhnya Kopi Pelaga. Beda dengan Kopi Kintamani, karena ketinggian area kebun dan karakter tanah tidak sama,” ungkapnya.
Kini Bli De Nu sudah memutar hand grindernya, kali ini roasted beans yang ia dapatkan dari Wana Prastha, sesama petani kopi dari Desa Gunungbau, Kintamani.
“Dulunya, 90 persen petani Pelaga menanam kopi Arabica. Sekarang mungkin tinggal 30% saja,” ujar Bli De Nu, sembari menuangkan bubuk kopi ke dalam paper filter.
Memang belum ada data yang pasti tentang produksi kebun kopi di Pelaga. Mencoba mencari ke Badan Pusat Statistik Bali pun, tidak bisa ditemukan. Websitenya sedang dalam proses update aplikasi, begitu notifikasi yang muncul saat kita membukanya.
“Karena tanaman kopi di Pelaga sempat terserang penyakit dan produktifitasnya turun drastis, maka petani beralih berkebun sayur, bunga gumitir, dan asparagus,” ujarnya.
Ini bisa juga mengindikasikan bahwa saat ini, kopi sudah bukan menjadi komoditi pertanian dan perkebunan yang volumenya cukup signifikan untuk dicatat dalam statistik Kabupaten Badung.
Itu sebabnya ia menaruh curiga; banyak kopi yang sesungguhnya bukan berasal dari desanya, tapi dilabeli sebagai Kopi Pelaga.
Namun melabeli kopi luar desa dengan brand Kopi Pelaga tentu bukan cara yang baik untuk memperkuat identitas kopi dari desa ini.
“Kalau bukan kopi dari desa ini, kenapa mesti disebut Kopi Pelaga?” sekali lagi ia menyayangkan.
Seduhan kopi dari Gunungbau sudah berada di server kopi yang dibawanya. Bli De Nu menuangkan ke dalam sloki untuk kami icip. Ia ingin menunjukkan kontras perbedaan karakter kopi dari desa yang berbeda.
“Kalau saya memilih kopi jujur. Kalau dari Kintamani, saya bilang itu Kopi Kintamani. Kalau dari Pelaga, saya bilang itu Kopi Pelaga. Dari kebun di Belantih, saya bilang Kopi Belantih. Karena masing-masing punya cita rasa yang khas,” tegasnya.
I Gede Setia Nugraha, petani kopi turun-temurun sejak sang kakek, I Nyoman Juta, merintisnya di awal 1980an.
Sejak belia, ia berkecimpung di kebun kopi mengikuti keseharian sang kakek. Berkebun kopi dari menyemai bibit, menanam, merawat, memanen, hingga memproses hasil panen, semua ia pelajari dan praktikkan bersama sang kakek.
Tak heran kalau ia tahu betul situasi kebun kopi Desa Pelaga. Ia lahir dan tumbuh di desa ini, bergaul dengan para petani kopi sejak belia hingga sekarang ini.
“Para petani kopi beralih berkebun sayur dan bunga sejak tanaman kopi kena penyakit. Selain itu, juga karena sayur dan bunga bisa panen lebih sering, bisa untuk membiayai kebutuhan sehari-hari,” tuturnya.
Lain halnya dengan kopi yang periode panennya hanya sekali dalam setahun. Jika hasil panen dan harga kopi sedang kurang bagus, petani tidak bisa menunggu untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Sepertinya, brand Kopi Pelaga yang popularitasnya melebihi kapasitas produksi, jika ada data yang cukup akurat, semestinya bisa menjadi potensi besar yang bisa dimaksimalkan. Misalkan, dengan menggiatkan kembali petani untuk berkebun kopi. Pelaga bisa kembali meraih predikatnya sebagai salah satu sentra kopi di Bali.
Bli De Nu merasa perlu untuk menjaga identitas Kopi Pelaga agar tak tenggelam dikaburkan oleh kekeliruan dalam mengidentifikasi cita rasa kopi karena penggunaan label yang tidak semestinya.
“Itulah kenapa saya belum mau banyak melakukan eksperimen dalam proses fermentasi biji kopi. Karena saya ingin cita rasa Kopi Pelaga yang asli tidak banyak tersamar oleh proses fermentasi yang macam-macam,” ujarnya.
Ia berharap, Kopi Pelaga bisa muncul dengan identitas aslinya yang memang punya keunikan. Tidak sama dengan kopi-kopi dari daerah lain di Bali.
Setelah Kopi Pelaga yang asli sudah cukup dikenal sebagaimana mestinya, baru ia merasa lebih leluasa untuk bereksperimen dengan berbagai metode fermentasi yang bisa semakin mengeksplorasi cita rasa Kopi Pelaga.
Kopi itu semestinya jujur, apa adanya. Karena Bali, sebagaimana Indonesia, punya sebaran wilayah geografis yang bisa memunculkan aneka cita rasa kopi yang unik.
Keberagaman cita rasa kopi adalah kekayaan negeri ini, yang semestinya menjadi nilai tambah yang luar biasa. Alangkah sayangnya jika keberagaman itu tidak dijaga tapi justru terkaburkan oleh ketidakpedulian.
“Saya ingin mengajak para roasters dan barista untuk main ke kebun kopi sini, supaya mereka tahu situasi kebun kopi di Desa Pelaga,” tambahnya.
Karena hanya dengan memberikan informasi yang benar tentang otentisitas Kopi Pelaga kepada para roasters dan barista, maka Kopi Pelaga bisa lebih terjaga dari pemalsuan.
Karena mereka bisa lebih hati-hati dalam memilih sumber kopi yang akan disajikan kepada para penikmat kopi. Para barista benar-benar mengenali Kopi Pelaga yang asli.
“Kopi itu jujur saja. Karena dengan banyaknya pilihan, setiap orang lebih bisa menemukan pilihan yang sesuai preferensinya. Ga suka yang ini, bisa milih yang itu. Kan begitu ya?” tegasnya.
Tak terasa sudah tiga jam kami berbincang. Malam mulai diselemuti gelap dan hawa dingin kian menusuk. Kami pamit melanjutkan perjalanan pulang, dan berjanji akan berkunjung kembali untuk mencari tahu lebih dalam tentang Kopi Pelaga yang otentik.
Follow I Gede Setia Nugraha di akun sosial medianya:
Instagram: @kiadan_coffee