I Ketut Jati pioneers Geographical Indication of Bali Coffee Specialty Kintamani

I Ketut Jati Merintis Indikasi Geografis Kopi Arabica Kintamani

Suara menderu getaran mesin espresso menyela obrolan di ruang tamu pagi itu. Tak lama I Ketut Jati menghampiri kami dengan dua cangkir kopi Americano yang menebar semerbak aroma sedapnya yang khas Kopi Arabica Kintamani.

“Lain kali kalau ke sini pas saya tidak ada, buat sendiri kopinya ya,” celetuknya sambil menyodorkan dua cangkir lagi ke dua tamu lain yang duduk di seberang meja.

“Lain kali saya yang seduhkan kopi buat Pak Jati,” jawabku meringis.

Sebuah kehormatan diseduhkan kopi dari maestro kopi specialty Arabica Kintamani.

I Ketut Jati adalah petani kopi yang tahu betul sejarah Kopi Kintamani. Bagaimana beranjak dari kopi yang hanya dikenal sebagai hasil kebun bernilai rendah hingga sekarang jadi komoditi yang dikenal dunia.

Lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di Singaraja 1985 ia memutuskan untuk pulang kampung ke Desa Catur, Kintamani, Bangli. Tidak seperti umumnya mereka yang sudah merasakan turun gunung dan merantau ke kota, I Ketut Jati memilih pulang untuk membantu orangtua merawat kebun.

Lahan lima hektar yang dimiliki keluarga itu sebagian ditanami kopi yang hasil panennya sering tak seberapa. Selain karena pola berkebun yang masih sangat tradisional, infrastruktur di kawasan Kintamani memang belum cukup memadai.

Daerah Kintamani belum tersambung jalan yang langsung ke kota Denpasar. Komoditas hasil kebun pun sulit dipasarkan.

Meski Dinas Perkebunan Provinsi Bali sejak 1975 membagikan bibit kopi gratis ke banyak petani di Kintamani, tapi hasil panennya tetap belum mengubah nasib petani menjadi lebih baik.

Perekonomian masyarakat Kintamani mulai membaik pada 1990. Pasar Kintamani dibangun dan jalan beraspal sudah makin menjangkau daerah yang lebih jauh. Jembatan Tukad Bakung yang menjadi penghubung utama Desa Catur dengan Plaga dibangun pada 2000.

Pendampingan dari Puslitkoka

Difasilitasi Dinas Perkebunan, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember memberikan pendampingan kepada petani kopi di Kintamani pada tahun 2000.

Dari pola berkebun, panen, hingga pengolahan hasil panen. Tidak mudah mengubah cara berkebun kopi masyarakat yang sudah mewarisi cara-cara lama dari para leluhurnya.

“Saya dekatin petani satu persatu, mengajak mereka mengubah cara panen. Petik buah kopi yang sudah merah saja, jangan pola rajut lagi,” kenang I Ketut Jati.

Petik rajut adalah memetik buah kopi tak hanya yang sudah merah matang, tapi juga sekaligus buah yang masih hijau belum matang. Ini membuat kualitas kopi hasil panen menjadi tidak optimal dan berkualitas rendah.

Namun secara perlahan petani kopi Kintamani mulai bisa mengikuti pola berkebun yang lebih baik.

Hasil panen kebun yang sudah baik pun tak langsung mudah dipasarkan dengan harga yang baik. Mulanya pada 2008 Puslitkoka yang menampung hasil panen para petani yang sudah beralih ke pola baru ini.

Tak butuh waktu terlalu lama, nama kopi Arabica Kintamani mulai dikenal sebagai kopi dengan kualitas yang baik.

Indikasi Geografis Kopi Arabica Kintamani

Puslitkoka bersama peneliti dari Pusat Penelitian Pertanian Perancis (CIRAD) mengadakan uji konsistensi karakteristik kopi Arabica Kintamani dari hasil panen tiap tahunnya. Terhitung sejak 2003-2007 memperoleh hasil yang konsisten.

Hasil uji konsistensi karakteristik kopi Arabica Kintamani ini kemudian diajukan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) untuk memperoleh sertifikasi indikasi geografis (IG).

Sembari terus menata kelembagaan pada level petani dengan para petani di Subak Abian yang merupakan gabungan dari Kecamatan Kintamani, Bangli; Kecamatan Petang, Badung; serta Kecamatan Sukasada dan Kecamatan Sawan, Buleleng.

Dengan begitu pola budidaya kopi Arabica Kintamani juga bisa ditata dengan lebih sistematis dan terjaga.

Akhirnya 2008 Kemenkum HAM mengeluarkan sertifikasi Indikasi Geografis Kopi Arabica Kintamani. Ini semakin memudahkan Kopi Kintamani meraih popularitas di kalangan pasar komoditas kopi specialty.

Gegap gempita status baru sebagai kawasan penghasil kopi bersertifikasi IG membuat para stake holder kopi Kintamani sepakat membantuk Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG). Yang kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk Koperasi MPIG yang bertujuan untuk menjadi pintu utama pemasaran hasil Kopi Kintamani.

Hasil panen petani Kopi Kintamani tak lagi sulit dipasarkan. Melalui Koperasi yang juga mejalin kerjasama dengan perusahaan pengolah kopi seperti PT Indocafco dan PT Delta, ratusan ton kopi beras berhasil dipasarkan ke kedua perusahaan ini.

Namun dengan berjalannya waktu, sepertinya status yang diidamkan sebagai wilayah dengan hasil kopi yang memiliki sertifikasi IG tak beriring dengan keberlangsungan dari sisi kelembagaan petani.

Organisasi MPIG maupun Koperasi MPIG sudah mulai sepi aktifitas. Organisasi yang kian meredup ini jelas membuat prihatin I Ketut Jati.

“Saya memang mundur dari jabatan Ketua MPIG karena sudah merasa waktunya generasi muda yang melanjutkan,” ujarnya. Namun, rupanya sepeninggalnya MPIG seperti mandeg tak berhasil memunculkan gagasan untuk menggerakan organisasi menjadi lebih berkembang.

Saat ini I Ketut Jati sibuk mengurus 20 hektar kebun kopi dan pabrik pengolahan hasil panen kopi. Setahun tak kurang dari 170 ton kopi gelondong yang diolahnya.

“Saya cuma berharap kualitas dan nama baik Kopi Kintamani tetap terjaga. Saya sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya kalau kelompok taninya sudah jalan sendiri-sendiri,” tutupnya.

Kopi Americano seduhan I Ketut Jati sudah habis ku seruput. Citarasa khas Kopi Kintamani meluncur halus tak bersisa. Tapi Kintamani tak boleh kehilangan kopi andalannya.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses