I Komang Sukarsana menggeser sedikit posisi cangkir kopinya agak ke depan agar ia bisa mengambil foto dengan angle yang pas. Baginya Kopi Bali adalah hasil jerih lelah petani yang mesti memperoleh apresiasi yang tinggi.
Sore itu ia sedang santai ngobrol menemani pengunjung kedai kopinya di bilangan Peliatan, Ubud, Bali. Perbincangan hangat tentunya seputar kopi Arabica Bali Kintamani yang menjadi passion bisnisnya.
Kopi Arabica Bali Kintamani adalah hasil bumi kawasan berketinggian 1200 mdpl. Setidaknya ada 14000 hektar lahan yang sangat potensial menjadi kebun kopi kelas dunia. Namun saat ini baru tak lebih dari 7000 ha yang sudah ditanami kopi.
“Petani banyak yang kurang pede (percaya diri) untuk menanam kopi, karena harga sempat anjlok hingga di bawah 10 ribu per kilogram,” tuturnya, sembari memeriksa hasil jepretan kamera smartphonenya.
Sempat pada suatu masa petani menebangi pohon kopinya dan menggantinya dengan tanaman sayur mayur yang lebih cepat panen dan menghasilkan pendapatan.
I Komang Sukarsana, mulai tertarik mendalami dunia kopi, terutama Kopi Arabica Kintamani, sejak 2010. Mulanya dia tanpa sengaja bertemu wisatawan Australia yang juga berbisnis kopi dari Bali.
Rupanya wisatawan mancanegara itu tak sekadar berlibur di Bali menikmati keindahan pulau seribu pura ini, tapi juga menikmati cuan mengangkut komoditas kopi dari Kintamani.
Awalnya I Komang Sukarsana diajak menjadi petugas quality control (QC) untuk bisnis wisatawan Australia ini. Memang awalnya Komang Sukarsana mesti belajar nyaris dari nol untuk bisa menjadi petugas pengendali mutu yang mengawasi para petani dan kebun kopi pemasok pebisnis kopi Australia ini.
Setelah kenyang dengan pengalaman menjadi petugas QC, Komang Sukarsana memutuskan untuk mulai berusaha memberdayakan para petani kopi di desanya agar punya posisi tawar yang lebih baik.
“Saya ingin petani mulai bisa menghitung, punya pengetahuan yang baik tentang budidaya kopi, dan memperoleh hasil penjualan kopi yang lebih adil,” ujarnya.
Atas inisiatif pemberdayaan petani yang tercermin dari model bisnisnya ini, I Komang Sukarsana memperoleh penghargaan sebagai entrepreneur muda berbasis teknologi dari Pemerintah Kabupaten Bangli pada 2013.
Ia memperoleh akses pelatihan yang sangat berguna untuk pengembangan bisnisnya dari berbagai lembaga pendamping. Wawasan kian luas dan menjadi bekal untuk makin sigap dalam mendampingi para petani kopi di desanya.
Bukan hanya pelatihan, Komang Sukarsana juga punya kesempatan membangun jaringan di dunia kopi specialty. Ia sering dikirim ke berbagai daerah di seluruh Indonesia untuk bertukar pengalaman seputar pertanian kopi dengan perkebunan kopi lainnya.
Kesempatan memperluas jaringan bisnis juga ia peroleh dengan sering menjadi perwakilan Indonesia untuk mengikuti berbagai ajang pameran kopi internasional di luar negeri.
Untuk lebih efektif memberdayakan petani kopi, I Komang Sukarsana ikut terlibat dalam Koperasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kintamani. Periode 2012-2014 ia aktif sebagai manajer pemasaran yang bertanggung jawab untuk menemukan pembeli hasil panen kopi dari para petani.
“Koperasi MPIG Kintamani sempat rutin mengekspor kopi beras kontaineran,” kenangnya.
Namun, ia memutuskan berhenti sebagai pengurus Koperasi ketika ia mulai fokus mengembangkan bisnis roastery dan penjualan kopi beras. Ia tak ingin ada konflik kepentingan yang bisa menimbulkan prasangka tidak baik di antara anggota koperasi karena posisinya sebagai manajer pemasaran.
Bisnis Kopi Komang Sukarsana berkembang pesat. Ia sudah mempunyai pelanggan tetap dari restoran, hotel, dan villa di sekitar Ubud. Belum lagi pelanggan luar negeri yang kerap kali memesan dengan kapasitas jumbo yang seringkali tak sepenuhnya bisa digenapi.
“Permintaan tinggi, tapi kemampuan produksi petani belum mampu memenuhi,” jelasnya.
Sarjana pendidikan, yang sempat jadi guru honorer di sekolah dasar di kampungnya ini, tak hendak berhenti untuk mencari solusi. Ia ingin sekali punya kesempatan untuk belajar pertanian kopi dari petani di Vietnam yang kapasitas panennya bisa tiga kali lipat dari petani kopi Indonesia.
Lelaki kelahiran Desa Songan, Kintamani, 18 Juni 1985 ini, tak pernah bisa lepas dari kepedulian pada petani kopi. Tanpa lelah ia selalu mencari cara agar para petani kopi ini bisa memperoleh bagian yang adil dari gegap gempita trend pasar kopi dunia yang nampaknya masih akan terus bertumbuh.