
Tumpukan cangkir yang biasa tertelungkup di atas mesin espresso sudah tak bersisa. Pagi itu, jam belum menunjuk pukul 9, barista Krisna Dul sudah kehabisan cangkir karena pengunjung Suka Espresso sangat ramai.
Sejak pukul 7 pagi, kunjungan pelanggan sudah mengalir tanpa henti. Persediaan 5 kg roasted beans kopi, yang dia siapkan untuk hari itu, sudah hampir tandas.
“Kalau shift kerja pagi memang speednya seperti ini, apalagi mesin espressonya cuma dua group, agak kuwalahan. Tapi saya suka,” ujarnya.
Mesin espresso nyaris tak berhenti berdesis. Dua portafilter silih berganti memeras bubuk kopi, mengucurkan espresso kental keemasan. Sementara suara renyah mesin grinder menggiling biji-biji kopi, hanya sesekali berhenti.
Kedai kopi di sudut kelokan Jalan Pengosekan, Ubud ini tampak tak terlalu luas. Namun, bangunan dua lantai ini di pagi hari memang selalu penuh pengunjung. Kursi sofa dan bangku-bangkunya selalu dihangatkan pelanggan yang menikmati menu sarapan dan kopi.
“Setelah break dari waktu rush hour, saya menyempatkan memeriksa data penjualan, dan cek apakah ada stock bahan yang perlu segera direquest ke gudang,” tuturnya.
Selain menghandle tugas barista, Krisna Dul juga mesti memastikan stock bahan untuk kitchen, bar cocktail, dan juice, mencukupi. Ia mesti cermat membaca data penjualan dan memperkirakan sisa bahan yang ada di storage. Jika dibutuhkan, mesti segera membuat storage request ke bagian gudang agar segera disiapkan.
“Biasanya saya makan siang di gudang, sesudahnya saya membawa bahan-bahan untuk stock storage café dari sana ke sini,” ujarnya.
Meski sebagai barista, namun lingkup kerjanya terbilang kompleks. Tak sekadar membuat kopi. Walkie-talkie mungil senantiasa menggantung di pinggangnya, untuk komunikasi dengan seluruh tim kerja.
Tapi lulusan Sekolah Pariwisata Bali jurusan Tata Boga ini memulai bekerja bukan sebagai barista, namun Plate Checker dan Juice Bar. Tugasnya memastikan menu sudah ditata secara aman dan cantik sebelum disajikan ke pelanggan.
Dia tak langsung ditugaskan di belakang mesin coffee espresso. Butuh waktu untuk orientasi budaya di lingkungan kerja dan product knowledge agar benar-benar bisa dia pahami.
“Untuk boleh menggunakan mesin espresso, saya mesti nunggu 3 bulan. Karena jadi barista di sini kualifikasinya memang tinggi. Dituntut bisa bikin kopi yang sesuai standard, dan konsisten,” ungkapnya.
Awal Ketertarikan Menjadi Barista
Krisna Dul adalah nama panggilan pemuda bernama lengkap I Wayan Krisna Mahendra. Awalnya ia tak pernah terpikir berprofesi sebagai barista. Semua bermula dari keriuhan suasana pelatihan kopi di restoran tempatnya bekerja dulu.
Setelah lulus kuliah 2018, ia bekerja di sebuah restoran di pinggiran Ubud. Kebetulan restoran itu sedang mengundang trainer kopi dari Jaya Coffee Roasters. Krisna Dul pun melihat keasyikan para peserta training mempraktikan cara membuat latte art coffee.
“Saya lihat sepertinya asyik. Saya jadi lebih tertarik mendalami kopi daripada berkutat di dapur,” ucapnya mengenang, sembari menyusun kembali cangkir-cangkir kopi yang sudah kembali dalam kondisi bersih.
Sejak itu ia mulai belajar mengenali kopi dan menggunakan alat kopi. Kebetulan beberapa temannya ada yang bekerja di kedai kopi, ia bisa numpang belajar sambil beli kopi.
“Saya beli kopi di Monkey Cave Espresso, tapi saya buat sendiri kopinya,” ujarnya menceritakan caranya belajar kopi di sebuah kedai kopi di kawasan Monkey Forest, Ubud. Tentu saja, teman-temannya, yang sudah menjadi barista di sana, dengan senang hati mengajarinya.
Keputusannya menekuni keterampilan barista seperti didukung semesta. Ia diajak saudara sepupu bekerja di sebuah kedai kopi kecil di Jalan Hanoman, Ubud. Ia baru menyadari kalau sebenarnya saudara sepupunya, yang sudah bersiap pindah kerja ke biro perjalanan kapal pesiar, menjadikan Krisna Dul sebagai penggantinya mengelola kedai kopi itu.
“Saya ditinggal sendirian. Belum banyak tahu tentang kopi tapi menghandle coffee shop itu. Jelas kelabakan, karena memang belum siap,” tuturnya.
Ia memutuskan mengundurkan diri, karena menyadari kapasitasnya memang belum cukup untuk tanggung jawab sebesar itu. Krisna Dul tak mau justru menjadi beban bagi tempatnya bekerja.
Ia tak lama menganggur. Ia ditawari bekerja sebagai barista di Purga Café, sebuah kedai kopi baru di kawasan Jalan Bisma, Ubud. Seorang teman yang kebetulan dipercaya sebagai pengelola kedai kopi itu mengajaknya bergabung.
Namun, saat ia mulai menikmati profesi barunya, pandemic COVID-19 memaksa kedai milik seorang pelukis muda itu terhenti.
Situasi pandemic COVID-19 membuat sangat sedikit coffee shop yang menjalankan usahanya. Ia terpaksa terhenti menjadi barista. Mungkin kah memang ia tak berjodoh dengan profesi barista?
Krisna Dul tak mau diam. Ia mulai mencari profesi baru selain kopi. Berdua dengan temannya membuka kedai arak Bali yang bisa cukup memberi nuansa gembira di suasana pandemic yang mencekam.
Kedai yang buka dari jam 4 sore itu seringkali baru bisa ditutup jam 4 pagi, karena banyak pelanggannya yang betah nongkrong di sana.
Krisna Dul, rupanya tak kuat kalau mesti terus-terusan begadang. Akhirnya, belum genap 6 bulan berjalan, ia memutuskan menutup usahanya itu.
Menjalankan usaha sendiri rupanya tidak mudah. Ia mulai melamar kerja di sebuah restoran di dekat rumahnya. Namun tak lama bekerja di sana, ia memutuskan mencoba membuka usaha sendiri menjual donut.
Sayangnya, usaha jualan donut tak berjalan lancar dan gulung tikar.
Sepertinya, semesta memang menuntunnya kembali menuju dunia kopi. Seorang staf roaster, penyuplai biji kopi café tempatnya dulu bekerja, menawari lowongan kerja di Suka Espresso café. Meski tak langsung bisa bersentuhan langsung dengan mesin kopi, Krisna Dul tetap menjalankan job descnya dengan penuh tanggung jawab.
Sebuah Ujian Keteguhan
Ujian keteguhannya pun terjadi. Sebuah keteledoran nyaris meruntuhkan jalan meniti cita-citanya sebagai barista.
Serpihan beling gelas yang tak sengaja ia pecahkan pada malam sebelumnya, melenting ke salah satu mangkuk yang ada di bagian atas rak barang pecah-belah. Meski malam itu, ia sudah membersihkan puing-puing gelas yang berserak, rupanya ada satu serpihan yang terselip.
“Pagi-pagi, satu pelanggan nyaris menelan serpihan beling dari mangkuk smooties,” ujarnya sedih.
Kehebohan terjadi. Beruntung captain dapur bersikap bijaksana sehingga situasi bisa terkendali. Setelah meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada pelanggan, evaluasi besar dilakukan.
“Captainku tidak serta-merta menyalahkan. Dia dengan hati-hati mengajak kami semua lebih bertanggung jawab pada tugas masing-masing, agar peristiwa fatal itu tak lagi terjadi,” kenangnya.
Tapi secara khusus Krisna Dul diajak bicara. Ia mengingatkan mesti lebih berhati-hati.
Tempat kerja tak ubahnya payuk jakan, istilah bahasa Bali yang berarti periuk nasi. Jika kita bisa bekerja dan bisa hidup dari sana, sudah selayaknya kita menjaga dan menghormati tempat kita bekerja.
Krisna Dul menjadikan peristiwa itu sebagai salah satu episode ujian keteguhannya untuk semakin profesional dalam bekerja.
Setelah menunggu tiga bulan, kesabarannya pun terbayar. Akhirnya, ia sudah boleh mengoperasikan mesin espresso dan menghandle derasnya pesanan kopi, terutama di pagi hari. Ia sangat menikmatinya.
Suasana café berangsur santai. Sekira pukul 10 pagi, Krisna Dul sudah bisa sedikit meregangkan jemari dan merileksasi otot-otot yang menegang.
Saat sudah tak ada lagi pesanan kopi, ia mulai berkeliling ke bagian bar juice, kitchen, dan bar cocktail, untuk memastikan semua yang di sana berjalan lancar. Ia mesti sigap jika ada problem yang mesti segera diatasi.
Sejurus kemudian, ia beringsut ke ruang sebelah, membuka laptop, dan memantau jumlah penjualan dan stock bahan di data storage. Kemudian ia membuat catatan apa saja yang perlu dia request ke bagian gudang siang nanti.
Begitulah Krisna Dul, yang kini menjadi senior barista di Suka Espresso Café. Tak melulu sekadar membuat kopi, tapi juga punya tanggung jawab memastikan seluruh tim bekerja baik.
Jika melihat lagi ke belakang, perjalanan menjadi barista penuh lika-liku dan tidak selalu mulus. Terkadang terpaksa dihentikan oleh keadaan. Tapi selama ia masih berusaha terus bergerak, maka selalu ada jalan yang terbuka.
Ia menyadari, profesi barista tidak sekadar menyajikan latte art coffee dan merasa sudah cukup sampai di situ. Tapi mesti benar-benar punya pengetahuan yang utuh tentang produk kopinya, sehingga bisa lebih baik dalam mengkomunikasikan produknya kepada konsumen.
“Saya ingin lebih mendalami skills coffee sensory dan roastery,” ujarnya, menceritakan rencananya.
Krisna Dul konsekuen dengan pilihan profesinya. Kini, ia mulai menata rencana ke depan. Pemuda yang baru saja mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi perempuan bernama Ersa Mayuni ini, ingin mengupgrade skillsnya.
Terus bergerak mengikuti irama semesta yang telah mengajaknya berjalan sejauh ini. Ayunan langkahnya semakin tegas dan pasti. Karena semesta tak ingin ia menjauh dari dunia kopi.
Follow Krisna Dul di Instagram @krisnandra24