Jisnu, barista tangan seribu ini, seperti bekerja di dalam ruang cockpit pesawat; sempit namun berjejal peralatan di semua sisi; samping, depan, belakang, atas, bawah.
Di ruangan ukuran sekitar 4 meter persegi itu, ia dikelilingi aneka perangkat. Ada mesin espresso, grinder, rak display pastry, juicer, mesin kasir, dan aneka kitchen set di sisi bawah dan atas. Begitulah ruang bar sekaligus dapur Monkey Cave Espresso, kedai kopi mungil di kelokan jalan Monkey Forest, Ubud, Bali.
Anak Agung Gede Jisnu Anindya nama lengkapnya. Ia menarik-narik kerah kaos, mengibas-ngibas, membuka jalan keluar untuk hawa gerah yang membekap badannya yang berpeluh. Plafon ruangan yang tak terlalu tinggi itu menyempurnakan hawa gerah dengan tebaran puluhan bola lampu pijar yang menggelayuti untaian kabel, menjadikan ruang bar itu seperti kubus penetasan telor ayam.

“Begini rasanya kerja serasa workout cardio,” katanya sembari terbahak. Tapi kedua tangannya cekatan, seolah tak pernah berhenti, meraih apa saja yang dia butuhkan dari sekelilingnya. Ia seperti punya seribu tangan.
Jisnu memang terlihat berpeluh kegerahan, namun dia tetap tampak gembira bekerja sembari melempar celetukan candaan ke dua rekannya. Sesekali menyapa ramah para turis yang lalu-lalang di depan kedai dengan bahasa inggrisnya yang fasih.
“Cuma di sini barista yang juga jago masak, sekalian nyuci piring dan gelas kotor,” selorohnya di tengah kesibukan memanggang sosis hot dog pesanan pelanggan. Hawa panas dibarengi kepulan asap tipis meruap berebutan keluar ruang kubus mungil itu.
Jisnu bergerak lincah. Selesai mempersiapkan hot dog ia bergegas mengantarkan ke pelanggan yang duduk di teras yang persis berada di atas bar. Sekelebat kemudian ia sudah turun kembali ke bar dan menggiling biji kopi untuk pesanan cappuccino.
“Barista di sini ga cuma membuat kopi, tapi juga handle dapur, kasir, bahkan valet parking bila perlu,” tutur pria kelahiran 28 September 1994 ini dengan gaya bercandanya, sembari menghentak dozer coffee grinder memenuhi porta filter dengan bubuk kopi.
Tapi ungkapan tentang banyaknya rentang pekerjaan yang mesti dihandle sepertinya bukan sebuah keluhan. Jisnu memang menyukai pola pekerjaan yang bisa mencakup hampir semua hal di kedai kopi tempatnya bekerja. “Buat saya, dengan menguasai banyak hal bisa semakin melengkapi skill sebagai barista dan punya nilai tambah,” ucapnya.

Pergaulan dengan para pegiat kopi di Ubud, juga menjadi penambah wawasan di dunia kopi. Jisnu sempat tergabung dalam beberapa komunitas kopi dan barista di Ubud dan Bangli. Di sana ia bisa bertukar pengalaman dengan barista-barista lain yang bekerja di kedai-kedai kopi di Ubud.
Tapi sepertinya memang tidak banyak yang pola kerjanya mirip dengan Jisnu. Kebanyakan barista ya, hanya bertugas membuat kopi.
Begitulah, komunitas barista bisa menjadi ajang saling mengisi ruang-ruang pengalaman dan wawasan.
“Sebenarnya, komunitas kopi di Ubud dan Bangli awalnya asyik. Tapi ketika sudah mulai hanya dijadikan panggung tampil oleh beberapa personil tertentu, jadi terasa kurang fair dan ga asyik lagi,” keluhnya.
Jisnu mendambakan komunitas kopi dan barista yang punya visi lebih jelas, dan membangun semangat berkembang bersama. Karena dia sempat merasakan asyiknya berada dalam komunitas kopi yang banyak membantunya semakin dalam mengenali kopi.
“Meskipun Starbucks tahun 2016 tidak menjual kopi manual brew, tapi saya pernah juara 3 saat lomba brewing coffee V60 di Bali Coffee Festival di Denpasar,” ujar mantan barista jaringan coffee shop asal Amerika Serikat itu. Komunitas barista menjadi tempatnya belajar.
Jisnu memang bukan barista kemarin sore yang hanya berkutat pada mesin espresso dan latte art. Ia punya hasrat untuk tahu lebih luas bukan sekadar pekerjaannya sebagai barista, tapi juga bagaimana sebuah kedai kopi beroperasi.
Mulai belajar menjadi barista saat bekerja di Starbucks di pertengahan 2015 sebagai staff level “New Green Beans” yang dicirikan mengenakan apron warna hijau. Dimentori staff barista yang lebih senior, sebulan pertama barista muda ini, bisa membuat kopi standard Starbucks.
Di Starbucks ia banyak belajar tentang services ke pelanggan dan pola pendidikan dan jenjang karier barista. Ilmu yang tidak ia dapatkan saat berkuliah di Sekolah Tinggi Pariwisata jurusan Hospitality and FNB Services.
Dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang komprehensif tentang bisnis kedai kopi, Jisnu Barista Tangan Seribu sudah puya bekal untuk bisa membuka usaha cafenya sendiri.

Bermula dari pandemi COVID-19 yang memaksanya berhenti bekerja dari profesinya sebagai barista di sebuah kedai kopi ternama di Ubud. Karena bisnis pariwisata kolaps, begitu juga bisnis penyertanya, termasuk kedai kopi.
Namun, bekal kemampuannya sebagai barista di Starbucks sejak 2015, tetap memberinya peluang bekerja di kedai-kedai kopi yang masih nekad menjalankan bisnis di situasi pandemi. Salah satunya Paperhills di kawasan Penelokan, Kintamani.
“Saya terlibat sebagai team opening Paperhills, coffee shop baru di Kintamani,” ujarnya. Namun, Jisnu tak lama bekerja di sana. Ia terjatuh dari sepeda motor dan memaksanya berhenti bekerja dan beristirahat untuk pemulihan.
Sebulan di masa pemulihan, Jisnu ditawari untuk menjadi tenaga trainer pada workshop barista di Bandung yang diselenggarakan oleh Lembaga Pelatihan Kerja (LPK).
Di sana ia bertemu dengan banyak pelaku usaha kedai kopi yang dengan senang hati bertukar pengalaman. Dari sana ia terinspirasi untuk membuka kedai kopi sendiri pada penghujung tahun 2021.
“Saya nekad buka coffee shop di Bangli, sewa kios paman Rp 500 ribu per bulan,” tuturnya.
Berdua dengan adiknya menamai kedai kopinya “Brewart Coffee”. Karena kedai kopi buat Jisnu tak sekadar menjual minuman kopi, tapi seni mengelola keahlian membuat kopi dan keberanian menjalani pilihan hidup yang baru, menjadi wirausahawan.
Jisnu Barista Tangan Seribu memang nekad, karena lokasi kedai kopinya bukan di pusat keramaian area wisata. Lagi pula di masa pandemi COVID-19 kebanyakan orang memprioritaskan belanja makanan daripada kopi.
“Modal saya cuma Rp 14 juta, kebetulan juga sudah punya beberapa alat kopi, jadi cukup buat buka kedai kopi,” tuturnya.
Kebiasaannya menghandle banyak pekerjaan selama bekerja sebagai barista, membuatnya lebih mudah mengelola coffee shopnya sendiri. Ia sudah mengenali betul apa-apa saja yang penting dan yang perlu dijaga agar operasional café berjalan efektif dan tetap memuaskan pelanggan.
Sebulan pertama Jisnu berdua adiknya mesti bekerja 14 jam sehari untuk menjalankan Brewart Coffee. Namun, tak butuh waktu lama, mereka sudah bisa menggaji karyawan dan bisnis berjalan sesuai harapan.
“Saya sudah bisa menambahi bayar sewa jadi Rp 700 ribu per bulan, sekaligus mempekerjakan 5 karyawan,” ujarnya bangga, menunjukkan niatnya berbagi keuntungan dengan sang paman pemilik kios.
Bahkan, Jisnu bisa tetap menyempatkan bekerja sebagai barista professional di kedai Monkey Cave Espresso.
Berakhirnya masa pandemi COVID-19 membuat bisnis kedai kopinya makin moncer. Tak sekadar tempat ngopi, tapi Jisnu menyulap kedai kopinya jadi semacam venue berbagai aktifitas anak muda. Sebagai penabuh drum grup band hard metal “Beringas”, dia mengajak beberapa grup band kenalannya manggung di kedai kopinya. Beberapa komunitas anak muda mulai banyak melakukan kegiatannya di Brewart Coffee.

Tapi, bisnis memang tak selamanya mulus. Tantangan baru bisa muncul kapan saja dan mesti dihadapi. Pemilik kios menaikkan harga sewanya menjadi 2 juta perbulan. Tidak ada tawar-menawar.
Jisnu menghitung cash flow kedai kopinya. Beban biaya sewa sebesar itu tak mencukupi untuk bisa bertahan. Dengan berat hati Jisnu memutuskan menutup kedai Brewart Coffee.
“Istri saya hampir tiap malam menangis, karena mesti memutus hubungan kerja 5 orang karyawan, yang sudah seperti keluarga sendiri,” tuturnya mengenang salah satu moment berat itu.
Jisnu cukup trauma dengan peristiwa itu. Dipaksa kehilangan karyawan yang penuh semangat rupanya cukup meninggalkan gurat kepedihan. Ada perasaan gundah mengingat 5 orang karyawan kehilangan pekerjaan karena ia menutup kedai kopinya.
Namun, Jisnu perlahan mulai menata kembali semangatnya. Ia bertekad memulai lagi membangun bisnis kedai kopi baru. Bahkan, beberapa teman sudah mengajaknya bekerjasama patungan modal.
“Sekarang lagi proses setup coffee shop baru di lokasi yang tidak jauh dari yang sebelumnya,” ujarnya sumringah.
Ia berencana dalam waktu dekat coffee shopnya yang baru segera berjalan. Karena bekal skills, pengetahuan, dan pengalaman sudah cukup lengkap.

Jisnu menjalani profesinya sebagai barista dengan visi yang terus berkembang. Dengan menjalani pola pekerjaan yang beragam ia secara naluriah belajar sambil mempraktikan langsung pengelolaan kedai kopi.
Jisnu Barista Tangan Seribu belum juga tampak mereda dengan kesibukannya. Tangannya seperti mematuk-matuk semua benda yang ada di sekelilingnya. Kali ini ia bergeser cepat ke sisi depan, jemarinya sudah di atas keyboard komputer kasir, membereskan pelanggan yang sedang membayar kopi pesanannya.
Menjadi barista adalah titik awal jalan panjang penuh liku dan pecabangan menuju dunia kopi yang lebih luas. Jisnu, memilih melatih dirinya dengan segala yang bisa dia pelajari dan kerjakan dengan seribu tangannya.
Follow Jisnu barista tangan seribu di akun sosial medianya:
Instagram: @nugi.bali
YouTube: @jisnuanindya
Thank you nuk,.! You’re the best, for sure,.!