Pagi itu udara sejuk dan hangat mentari menemani perjalanan menuju Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng. Ini perjalanan menuju acara kumpul-kumpul para pelaku bisnis kopi di Bali, Munduk Coffee Forum namanya.
Dari arah Sangeh, menuju Desa Muduk, mesti melewati pemandangan menakjubkan tiga danau nan menawan; Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan. Sebuah pagi yang sempurna.
Tiba di lokasi jam baru menunjuk pukul 9 pagi. Rupanya, venue acara berada di sebuah resort asri berkonsep ramah lingkungan, Munduk Monding Plantation Nature Resort.
Agak bingung juga, karena area resort dihubungkan dengan koridor berpagar tanaman hijau yang memanjang, meliuk, dan bercabang di sana-sini.
Seorang staf dengan ramah menghampiri, dan mengantarkan menggunakan mobil buggy menuju lokasi Munduk Coffee Forum. Sepertinya kendaraan di area ini hanya bertenaga listrik, karena tak pernah terdengar suara deru mesin motor di sepanjang koridornya.
Tak kurang dua puluh orang sudah berkumpul di lokasi. Ada petani kopi, pengolah kopi pascapanen, dan pemilik coffee shop dan roastery. Acara diawali dengan tour keliling kebun kopi, yang ada di areal resort, juga tempat pengolahan kopi hasil panen. Selain itu juga menyaksikan sistem pengolahan air limbah resort Ecological Waste Water Treatment Facility dan pengolahan sampah plastik yang keren.

Sebuah resort yang serius menjaga alam lingkungannya agar tetap lestari.
Acara sharing diisi oleh dua pelaku bisnis kopi senior I Wayan Arca dari Ulian, Kintamani dan Putu Ardana dari Danau Tamblingan. Selain itu juga satu perwakilan dari Su-Re.co, lembaga yang bergerak di pemberdayaan masyarakat untuk adaptasi dan mitigasi pada perubahan iklim.

I Wayan Arca adalah generasi ke dua setelah ayahnya merintis bisnis kopi pada 1980. Namun ia tak hendak mengubah total bisnis ayahnya yang kala itu hanya mengejar produktifitas kebun kopi setinggi mungkin. Tapi I Wayan Arca melakukan perbaikan pada beberapa hal yang dianggap krusial.
Ia melanjutkan bisnis ayahnya pada 2008 dengan melakukan penggantian varietas kopi secara bertahap dengan tanaman kopi Arabica yang lebih laku di pasaran.
Kemudian juga, dengan penuh kesabaran, mengajak petani sekitar untuk melakukan pola pertanian yang baik. Salah satunya cara memanen kopi hanya petik buah yang sudah merah.
“Kira-kira perlu lima tahun untuk menyadarkan petani di Ulian agar memetik kopi hanya yang sudah merah saja,” ujarnya.
Tidak berhenti sampai di situ. I Wayan Arca juga mengajak masyarakat petani di sekitarnya untuk mulai memperhatikan kualitas tanah kebunnya. Dengan menghindari penggunaan pupuk kimia dan mengganti dengan pupuk kandang atau kompos.
Juga menerapkan pola regenerasi tanaman kopi, selain untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas kopi, juga untuk mengistirahatkan tanah kebun agar tidak overekspoloitasi.
Tanaman kopi perlu lebih kurang 3 tahun, dari masa tanamnya, untuk mulai produktif. Sepanjang waktu itu adalah kesempatan pemulihan unsur hara tanah agar pulih kesuburannya.
“Saya tidak ingin mewariskan tanah yang beracun dan rusak, karena overeksploitasi kebun, kepada generasi berikutnya,” ujarnya.

Sementara itu Putu Ardana membagi pengalamannya mengajak masyarakat petani di kawasan Danau Tamblingan berperilaku organik. Bukan sekadar bertani secara organik.
Ia menekankan pentingnya mengembalikan mental petani dari mental konsumen, yang terbiasa mengharap subsidi dari pemerintah, kembali bermental produsen yang mandiri.
Mendorong petani untuk kembali berkebun kopi, sebagaimana dulu kala kawasan Munduk terkenal sebagai sentra kopi. Karena dengan berkebun kopi disertai tanaman penaung, bentang alam kawasan Danau Tamblingan bisa terjaga dari longsor dan ancaman menyusutnya debit mata air.
“Saya mengajak masyarakat petani untuk berkebun kopi tanpa pupuk kimia dan memanen kopi petik merah. Itu saja,” ujarnya menceritakan bagaimana ia membujuk petani untuk mulai berkebun dengan tetap menjaga kelestarian alam.
Kini, Putu Ardana membuat brand “Blue Tamblingan” untuk produk kopi hasil kebun di kawasan Danau Tamblingan.
Sementara Oktaviana Winda dari Surco (Su-re.co) membagi pengalamannya dalam mendampingi beberapa kelompok masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Surco memaparkan pentingnya pola pertanian yang mengadopsi metode adaptasi berbasis lingkungan.
Adaptasi berbasis ekosistem, mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan menyesuaikan dengan perubahan iklim. Salah satunya adalah pola pertanian agroforestry yang menambah tutupan lahan dengan pohon penaung, membawa dampak positif pada lingkungan. Seperti perbaikan kualitas tanah, kembalinya satwa hutan, dan terjaganya struktur tanah dari potensi longsor.
Selain acara sharing pengetahuan dan pengalaman, para peserta diajak mencicipi 32 produk kopi dari kebun dan prosesor kopi di Bali. Sesi cupping coffee ini bak etalase cita rasa kopi Bali yang memang sangat kaya dan unik. Potensi luar biasa untuk menjadi setara dengan kopi-kopi ternama dari luar negeri.
“Kopi kita ini sebenarnya hanya butuh dirapihkan dari hulu ke hilir, sehingga ada standard dan konsistensi. Supaya cita rasanya tak sekadar ramai, tapi juga wah!” ujar Rifka, salah satu roaster dari Great Brew Denpasar yang ikut serta.
Tak terasa hari sudah menjelang sore. Menurut Elman dari Munduk Monding Plantation, acara yang baru pertama kali diadakan ini akan lebih sering dilakukan. Munduk Coffee Forum mempertemukan para stakeholder industri kopi dengan petani. Harapannya agar petani lokal memperoleh wawasan dan jaringan yang lebih luas tentang kopi dan industrinya.
“Ini juga salah satu wujud misi Munduk Coffee Plantation memberi dampak langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat dan lingkungan sekitar,” ujar Elman .
Potensi kopi Bali masih begitu besar. Butuh kekompakan dan upaya bersama dari semua stakeholder untuk membawa ke arah yang benar.
Karena Bali tak melulu tentang mengeksploitasi keeksotisan budaya dan alamnya untuk pariwisata. Sudah terbukti, kecerobohan ini telah mengoyak Bali tanpa ampun.
Bali bisa menjadi sentra kopi berkualitas sekaligus penyangga kelestarian budaya dan alamnya.