Sore yang hangat menyertai keriuhan para pelaku industri kopi Bali yang sedang berkumpul santai di halaman Super Jenar Roastery, Denpasar, Bali. Petani kopi, pengolah kopi, dan barista, larut dalam keakraban acara coffee cupping dan berbagi obrolan seputar industri kopi.

Hamburan cahaya mentari sore itu menerpa sebagian areal halaman, memaksa beberapa orang melipir ke tempat yang teduh. Sebagian di teras dan di bangku-bangku yang luput dari paparan sinar matahari.
Di sisi tengah halaman, persis di bawah naungan pohon mangga, deretan cup taster tersaji di atas meja panjang. Biji kopi sangraian dari Curtina Coffee Farm dan Munduk Coffee Roastery, sedianya menjadi menu tasting coffee sore itu.
Wana Prastha, dari Curtina Coffee Farm, menyiapkan roasted beans dari Desa Awan, Kintamani, yang diolah dengan metode fermentasi kismis.
Sementara Arya Giri, dari Munduk Coffee Roastery, membawa biji kopi Arabica dari Desa Asah Gobleg yang diproses dengan metode fermentasi thermal shock.

Coffee cupping dimulai. Ada yang sigap menimbang dan menggiling biji kopi dan menuangkan ke dalam mangkok-mangkoknya. Beberapa sudah mulai mengindu bubuk kopi, mencoba mengenali aromanya sebelum kemudian menuangkan air panas.
Selanjutnya riuh suara sruputan nyaring silih berganti seiring barisan para penikmat kopi bergerak mengelilingi meja, menyendoki mangkuk kopi satu-persatu. Mengecap cita rasa kopi specialty Bali yang memang menyenangkan.
“Sudah lama komunitas kopi di Bali vakum sejak Pandemi Covid-19. Semoga ini bisa menjadi awal kita untuk bisa aktif lagi,” ujar Miftahul Munir, pemilik Jenar Roastery sekaligus salah satu penyelenggara acara.
Tak kurang dari 50 pegiat kopi yang datang minggu sore itu (18/5). Halaman rumah roastery yang lumayan luas, cukup menampung para peserta yang duduk di kursi dan bangku yang berjajar di sana-sini.
Berkumpulnya para pegiat kopi dari berbagai latar belakang ini tentu sebuah kesempatan yang baik untuk menjadi ajang ngobrol santai. Ada yang bergerak di sisi hulu, seperti petani dan processor kopi. Tapi ada juga yang lebih dekat ke hilir seperti roasters dan pengelola kedai kopi yang langsung bertemu para peminum kopi.

Ada delapan orang yang didaulat untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Dipandu Insan Kamil, seorang coffee enthusiast sekaligus salah satu penggagas acara, masing-masing memperoleh kesempatan bicara di depan para pelaku industri Kopi Bali.
Arya Giri, processor kopi dari Desa Asah Gobleg, Buleleng, membagi pandangannya terkait keresahan banyak prosesor pada lonjakan harga kopi justru di saat musim panen tiba.
“Harga kopi tinggi karena luas kebun kopi tidak bertambah signifikan, begitu halnya produktifitasnya. Tapi brand-brand besar mulai banyak merambah bisnis pengolahan kopi. Membuat demand terhadap ceri kopi meningkat sedangkan supplynya stagnan,” ujar Arya Giri dari Munduk Coffee Roastery.
Ia berharap ada peran lebih dari pemerintah untuk membantu petani dalam pengadaan bibit atau pun pendampingan, agar produktifitas kopi di Bali bisa ditingkatkan. Euphoria capaian barista Indonesia Mikael Jasin sebagai juara 1 World Barista Championship 2024 di Busan, Korea Selatan, juga menjadi bahasan seru di sore itu. Penunjukan Indonesia sebagai tuan ruman World of Coffee di Jakarta 2025 nanti, disambut antusias.

Michail Seno Ardabuana dari Hungry Bird Roastery, salah satu pelaku industri Kopi Bali, menyoroti soal pentingnya menghidupkan kembali komunitas kopi di Bali.
“Komunitas kopi bisa menjadi sarana berinteraksi dan berbagi informasi untuk para barista mengembangkan skillsnya,” ujar Seno.
Stefani ,dari Toffin Bali, menambahkan, menurut pengamatannya, komunitas kopi di Bali dulu sempat sangat marak. Tapi, saat ini sudah meredup, bahkan jauh tertinggal dari daerah lain yang makin bersemangat.
“Misalnya Kota Samarinda. Saat ini komunitas kopinya rajin bikin kompetisi lokal yang berbasis skor. Menunjukkan keseriusan para baristanya. Komunitas kopi di Bali, masih belum sampai ke sana,” ungkapnya.
Menurutnya, banyak barista di Bali yang punya bakat dan hospitality yang sangat baik. Hanya perlu makin banyak yang berani ikut kompetisi di level nasional.
Revo Dewa, Coffee Hunter dari Coffee Beyond Border, membagi cerita tentang apa yang banyak dijumpainya dalam tiga tahun berkelana keliling nusantara, memburu kopi-kopi terbaik.
“Barista di Bali mesti punya coffee knowledge yang baik, supaya kopi yang sudah susah payah dirawat dan diolah di hulu, tidak sia-sia dan hanya jadi kopi murahan karena disajikan ala kadarnya,” tutur Revo.
Menurutnya, seorang barista mesti paham kenapa kopi yang diseduhnya disebut specialty. Sayangnya, di Bali banyak dijumpai barista yang justru tidak suka minum kopi.

Revo memang tahu betul bagaimana kerja keras para petani dan prosesor kopi. Karena ia banyak berhubungan dengan masyarakat adat di berbagai daerah, membantu mereka memperbaiki hasil kebun kopinya.
“Kopi semakin dihargai jika jelas dari mana asalnya, bagaimana cara berkebunnya, siapa petaninya,” ujar Revo, yang berharap para barista di Bali menyadari pentingnya pengetahuan dan pemahaman soal itu.
Bertemunya para pegiat kopi sore itu memberi harapan yang besar pada masa depan industri kopi di Bali dan Indonesia. Antusiasme yang layak dirawat dan dijaga.
Sore menuju malam. Matahari sudah tidak tampak lagi. Namun, obrolan santai masih berlanjut, ditemani icip-icip kopi seduhan dari para peserta yang datang dengan roasted beans bawaan mereka. Kopi dari berbagai daerah di nusantara dengan aneka proses dan profil rasa yang istimewa.